PENDAHULUAN
Awal masa orde baru menerima beban berat
dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk
rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan
inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas
politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai
terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai
membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini
terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Orde Baru memilih perbaikan
dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya
melalui struktur administratif yang didominasi militer.
PEMBAHASAN
Kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah
Orde Baru pada dasarnya mencerminkan dinamika pergulatan pemikiran mengenai ekonomi-politik
pembangunan yang berkembang dalam “komunitas politik” negeri ini. Karena itu,
untuk memahami kebijakan yang diterapkan pemerintah kita perlu menelaah
berbagai pemikiran yang berkembang di kalangan intelektual, pemimpin politik
dan tokoh dunia bisnis Indonesia.
Secara garis besar bisa diidentifikasikan pola
pemikiran dan praktek pembangunan yang berkembang di Indonesia, yang
masing-masing menekankan pendapatan yang berbeda. Untuk memudahkan pemahaman,
masing-masing pendekatan diberi nama popular yaitu: “politik sebagai panglima”
(PSP), “ekonomi sebagai panglima” (ESP), dan “moral sebagai panglima” (MSP).
Karakteristik masing-masing pola pemikiran atau pendekatan bisa digambarkan sebagai berikut:
a. Pendekatan pertama,
memprioritaskan pertimbangan politik dalam proses pembangunan dan menekankan
peranan Negara, yang diwakili oleh para birokratnya, sebagai aktor utama
pembangunan. Pembangunan yang berhasil hanya mungkin kalau dijamin oleh Negara
yang kuat.
b. Pendekatan
kedua, lebih
mengutamakan peranan pengusaha dan korporasi dalam proses pembangunan. Para
aktor ini dibayangkan melakukan alokasi sumberdaya dan pembuatan keputusan
ekonomi lain bedasarkan pertimbangan pasar, yaitu mengikuti dinamika kekuatan
permintaan. Dengan demikian, mereka juga dianggap berkecenderungan liberal,
dalam arti lebih suka bekerja tanpa banyak intervensi pemerintah. Ini terutama
nampak jelas pada sikap mereka yang setiap kali terjadi kelesuan ekonomi
menuduh kekakuan birokrasi sebagai biang-keladinya dan karena itu menuntut
delegulasi atau pelonggaran intervensi, tujuannya adalah untuk memperbaiki
kondisi yang diperlukan bagi akumulasi dan reproduksi kapital.
c. Pemikiran
ketiga, walaupun sering diperdebatkan di kalangan cendikiawan, bukanlah
pendekatan yang biasa dibahas di kalangan elit penguasa. Ini adalah pandangan
yang menegaskan bahwa cara yang paling efektif untuk menangani persoalan
kemiskinan yang dihadapi rakyat adalah dengan membantu mereka menemukan
kekuatan mereka sendiri. Untuk itu wewenang pembuatan keputusan mengenai
pembangunan, yang selama ini dimonopoli pemerintah, harus dikembalikan kepada
rakyat atau komunitas lokal. Lapisan masyarakat yang dalam retolika para elit
penguasa selalu disebut-sebut sebagai pelaku pembangunan yang sejati. Karena
itu, mekanisme pembangunan yang diandalkan adalah kekuatan rakyat (“people’s
power”).
A. Negara
dan Pasar.
Sejarah kebijakan ekonomi-politik pembangunan Orde
Baru pada dasarnya adalah sejarah persaingan antara pendukung pendekatan PSP,
yang menekankan persoalan pembinaan basis materiil bagi kekuatan Negara, dengan
pendukung pendekatan ESP, yang menekankan pembangunan ekonomi sebagai proses
akumulasi dan reproduksi kapital dengan pameran utama aktor bisnis swasta. Salah
satu isu sentral dalam pemikiran dan praktek pembangunan, terutama di masa awal
Orde Baru, adalah bagaimana meningkatkan kemampuan pemerintah untuk memberikan
jaminan keamanan bagi rakyat dan mempertahankan kelestarian rezim yang
berkuasa. Dalam pengertian ini, pembangunan identik dengan “nation-building”.
Pembinaan basis materiil bagi Negara akan terjamin kalau ekonominya mampu
menciptakan surplus yang berkelanjutan. Tanpa kemampuan memobilisasi sumber
dana internal maupun eksternal, upaya mengkonsolidasi legitimasi politik sulit
dilakukan dan pada gilirannya bisa menganggu kelangsungan hidup rezim.
Diantara tujuan Orde Baru yang paling penting adalah
“membangun suatu masyarakat baru yang merasa aman, menikmati arti penting
ketertiban, dan mengajar kemampuan dalam suasana kestabilan”. Untuk
mencapai tujuan besar itu, pemerintah Orde Baru menerapkan dua strategi umum. Pertama, strategi ekonomi yang mendorong
pertumbuhan cepat dan yang bisa memobilisasi berbagai sumberdaya ekonomi dari
luar negeri. Yaitu, strategi “berorientasi keluar”. Dan kedua, strategi politik mendorong penciptaan sistem ekonomi dan
masyarakat yang terkendali dan tertib. Dalam kaitan inilah stabilitas dan
keamanan merupakan hal paling berharga dalam pandangan elit politik Orde Baru. Pada
gilirannya, penciptaan dan pemeliharaan stabilitas nasional mengharuskan
pemerintah mengambil langkah-langkah berikut:
- Menciptakan politik yang bebas dari konflik
ideologis dan berdasarkan atas ketertiban dan konsensus.
- Membatasi partisipasi politik yang pluralistik.
Partisipasi rakyat harus diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan
yang dirancang oleh para elit penguasa.
A.
Eksploitasi Sumber Daya
& Warga Tionghoa
Eksploitasi sumber daya selama masa pemerintahan Presiden Soeharto,
kebijakan-kebijakan , dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar
pada tahun 1970-an dan 1980-an. Warga Tionghoa Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari
komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di
sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Konflik perpecahan pasca
orde baru di masa orde baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama
ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun
dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa
di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
A. Kelebihan dan Kekurangan Orde Baru
a. Kelebihan
Ada beberapa hal yang menjadi keuntungan dari masa
orde baru sebagai berikut:
-
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
-Sukses
transmigrasi
-
Sukses KB
-
Sukses memerangi buta huruf
-
Stabilitas politik dan ekonomi
-
Pertumbuhan ekonomi
-
Pemerataan pembangunan lebih terjaga
-
Ternyata sistem represif tanpa demokrasi yang paling cocok sampai saat ini di
Indonesia. Buktinya setelah ada demokrasi sekarang malah kebablasan, anarki di
mana-mana.
a. Kekurangan
Adapun hal-hal yang menjadi kerugian dari masa orde
baru adalah sebagai berikut :
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak
merata
- Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
(miskin)
- Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang diberedel (dihentikan dari edaran
dan penerbitan)
-
Ekonomi makro rapuh karena banyak subsidi dari hutang luar negeri, untuk membuat stabilitas politik
- Tidak ada demokrasi
A.
Repelita
Awal
masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru
berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan
dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap
bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun
1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang
beberapa REPELITA:
a.
REPELITA I (1969-1974)
Mulai
berlaku sejak tanggal 1 April 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah
pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup
pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian.
Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
b.
REPELITA II (1974-1979)
Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sector pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.
c.
REPELITA III (1979-1984)
Prioritas
tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian
menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi.
d.
REPELITA IV (1984-1989)
Adalah
peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan
merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri.
c.
REPELITA V (1989-1994)
Menekankan
bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan
ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sector pertanian menuju swasembada
pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia,
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, Inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa Bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih
sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk
kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih
adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada
masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru
masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
E. Orde
Baru: Refleksi Otoritarianisme yang Menghasilkan Kesejahteraan Semu
Ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru yang banyak mengalami gejolak krisis menjadikan
proses demokratisasi pada saat Reformasi mengulang dari nol, karena
pemerintahan Soeharto hanya meninggalkan keadaan buruk yang turun temurun
kepada generasi selanjutnya. Semua sisi perlu ditata ulang dan diperlukan pemikiran
cerdas untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. Begitu juga dengan
kebebasan pers post-Orde Baru terjadi perubahan yang luar biasa, ibarat burung
yang dipelihara dalam sangkar kemudian dilepas secara bebas ke alam terbuka,
itulah kehidupan pers saat ini. Sujito (2011) mengatakan bahwa liberalisasi
politik dan kebebasan media massa adalah fakta paling nyata yang bisa dirasakan
dengan segala dampak yang menyertainya. Sungguh berbeda dibandingkan era
sebelumnya yang ditandai oleh politik yang otoriter, demokratisasi menyediakan
harapan dan ruang baru bagi masyarakat untuk berkiprah. Soeharto mencanangkan sesuatu dengan banyak
embel-embel di belakangnya tentu banyak orang-orang yang tidak sadar akan hal
yang kita anggap busuk itu. Pola intervensinya diketahui setelah dikaji lebih
dalam dikemudian tahun setelah ia memerintah. Bahkan orang-orang baru sadar
pada saat sekarang ini. Dahulu masyarakat tidak akan mempertimbangkan sampai
kepemikiran yang lebih mendalam, karena yang mereka tahu bahwa program tersebut
membawa keuntungan dan pemerintah selalu memberikan bantuannya. Pemerintahan
Orde Baru ini juga banyak memberikan bantuan kepada masyarakat yang dapat
dikatakan merupakan bantuan semu. Dalam hal ini juga terdapat intervensi yang
kuat dari Soeharto sebagai pemimpin regulasi Orde Baru. Misalnya pemerintah
mencanangkan program Panca Usaha Tani sehingga kita bisa mencapai swasembada
pangan, namun lagi-lagi ada sebuah pesan busuk yang akan disampaikan. “Supaya
produk pertanian bagus maka pakailah pestisida.” Pestisida sendiri adalah
sebenarnya produk dari luar negeri, program dari IMF yang bantuannya begitu
besar. Sebenarnya pemberian bantuan tidak akan membuat masyarakat sejahtera
secara permanen, karena hanya bersifat sesaat saja. Sehingga masyarakat miskin
cenderung bergantung pada negara, bahkan dana untuk bantuan bisa saja menjadi
objek utama untuk dikorupsi.
Demokrasi
dan keadilan disingkirkan, untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai maka
Soeharto dengan berbagai cara menjinakkan kekuatan politik sehingga tidak lagi
mempunyai komitmen yang kuat terhadap kontrol sosial. Kekuatan politik disini
maksudnya adalah angkatan bersenjata, mereka diperdaya untuk melanggengkan
kekuasaanya. Terbukti pada saat peristiwa Trisakti, mahasiswa yang vokal
terhadap pemerintahan ditembak membabi buta akibatnya empat orang mahasiswa
Trisakti tewas.
KESIMPULAN
DAN SARAN
a. Kesimpulan
Kesejahteraan
pada Orde Baru boleh dikatakan memang terwujud, namun secara tidak kita sadari
bahwa kesejahteraan tersebut bersifat semu. Lebih lanjut Pratikno (1998)
mengatakan sumber utama kedua yang dipergunakan untuk membangun
otoritarianisme, klientelisme ekonomi yang berhasil dilakukan berkat
melimpahnya sumber daya ekonomi dan hasil alam. Dengan sumber daya inilah
Suharto secara efektif mampu membeli dukungan dari elit politik dan masyarakat
luas. Faktanya ketika Orde Baru runtuh maka indikator kesejahteraan juga turut
menghilang perlahan dengan sendirinya, hanya untuk pencitraan saja. Memang
sifat manusia jika sudah memperoleh kesempatan yang menggiurkan di depan mata,
akan mengambil dengan suka cita. Apalagi pada saat Orde Baru mereka bisa
leluasa bergerak tanpa pertimbangan matang, utung ruginya menarik modal asing
tidak dipikirkan sebelumnya. Mereka hanya berorientasi pada keuntungan semata,
tanpa memperdulikan peningkatan produktifitas ekonomi Indonesia untuk
keberlangsungan hidup penerus bangsa selanjutnya. Mereka belum bisa berfikir
untuk peduli pada generasi mendatang, boro-boro masalah generasi, rakyatnya
yang pada saat itu menjerit hanya karena tidak bisa membeli kebutuhan pokok
saja tidak diindahkan. Inilah asal mula mengapa hutang Indonesia saat itu
menggelembung menjadi besar karena ulah konyol orang-orang tua Orde Baru yang pikirannya
kotor. Sebagian besar utang tersebut adalah sektor swasta kepada pemodal asing.
Imbas dari hutang yang sangat tinggi waktu itu Orde Baru kekosongan kas negara,
tidak mapu membayar hutang-hutang tersebut padahal jatuh temponya dekat dengan
bunga yang luar biasa tinggi. Pertengahan tahun 1998 sudah lebih dari 50 miliar
dolar jatuh tempo, sedangkan uang memang kosong untuk melunasinya. Akhirnya
menumpuk lagi hutang negara kita, semakin banyak dan semakin banyak. Bahkan
uang yang digunakan pengusaha kurang lebih 74 miliar hampir seluruhnya tidak
ada manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Inilah awal timbulnya krisis moneter
yang dialami Indonesia.
b. Saran
Orde Baru boleh
kita kenang namun pola kepemimpinannya tidak perlu kita contoh, karena sangat sentralistik
bahkan sentral ditangan satu orang saja, bernama Soeharto. Sampai-sampai
kesejahteraan hanya bersifat semu tidak ikhlas diberikan pada rakyat. Kita
memasuki globalisasi, masalah kesejahteraan tidak hanya terkait dengan hal-hal
seperti mampu makan namun juga mampu berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Dengan penjelasan yang saya tulis dalam makalah ini tentang system
politik pada era orde baru, hendaklah kita lebih jeli lagi melihat system
pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah kita terhadap rakyat, bukan hanya
melihat keuntungannya saja tetapi juga melihat dampak buruknya dan secepatnya
mengantisipasi keburukan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Gaffar, Afan.
2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Mas’oed
Mohtar (1997). “Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
Usman, Sunyoto,
Dr. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://alfiyanfaqih.blogspot.com/2011/10/kelebihan-dan-kekurangan-sistem.html#ixzz29Z7CLdAR
http://bisnis.vivanews.com/news/read/197136-kenapa-ekonomi-indonesia-2011-lebih-baik- , diakses
tanggal 8 Desember 2011.
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101025070316AAOFtd0
http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-sejarah-orde-baru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar