BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Awal masa orde baru menerima beban
berat dari buruknya perekonomian orde lama. Pemerintahan orde baru berlangsung
selama 32 tahun yaitu 1966-1998. Orde baru berusaha keras untuk menurunkan
inflasi dan menstabilkan harga. Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia dimana Presiden Soeharto memerintah Indonesia selama
3 tahun. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total"
atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Dalam jangka waktu 32 tahun tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi
sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Kebijakan pembangunan yang
diterapkan oleh pemerintah Orde Baru pada dasarnya mencerminkan dinamika
pergulatan pemikiran mengenai ekonomi-politik pembangunan yang berkembang dalam
“komunitas politik” negeri ini. Karena itu, untuk memahami kebijakan yang
diterapkan pemerintah kita perlu menelaah berbagai pemikiran yang berkembang di
kalangan intelektual, pemimpin politik dan tokoh dunia bisnis Indonesia.
Secara garis besar bisa
diidentifikasikan pola pemikiran dan praktek pembangunan yang berkembang di
Indonesia, yang masing-masing menekankan pendapatan yang berbeda. Untuk
memudahkan pemahaman, masing-masing pendekatan diberi nama popular yaitu:
“politik sebagai panglima” (PSP), “ekonomi sebagai panglima” (ESP), dan “moral
sebagai panglima” (MSP). Karakteristik masing-masing pola pemikiran atau
pendekatan bisa digambarkan sebagai berikut:
a. Pendekatan
pertama, memprioritaskan pertimbangan
politik dalam proses pembangunan dan menekankan peranan Negara, yang diwakili
oleh para birokratnya, sebagai aktor utama pembangunan. Pembangunan yang
berhasil hanya mungkin kalau dijamin oleh Negara yang kuat.
b. Pendekatan
kedua, lebih mengutamakan peranan
pengusaha dan korporasi dalam proses pembangunan. Para aktor ini dibayangkan
melakukan alokasi sumberdaya dan pembuatan keputusan ekonomi lain bedasarkan
pertimbangan pasar, yaitu mengikuti dinamika kekuatan permintaan. Dengan
demikian, mereka juga dianggap berkecenderungan liberal, dalam arti lebih suka
bekerja tanpa banyak intervensi pemerintah. Ini terutama nampak jelas pada
sikap mereka yang setiap kali terjadi kelesuan ekonomi menuduh kekakuan
birokrasi sebagai biang-keladinya dan karena itu menuntut delegulasi atau
pelonggaran intervensi, tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi yang
diperlukan bagi akumulasi dan reproduksi kapital.
c. Pemikiran
ketiga, walaupun sering diperdebatkan di kalangan
cendikiawan, bukanlah pendekatan yang biasa dibahas di kalangan elit penguasa.
Ini adalah pandangan yang menegaskan bahwa cara yang paling efektif untuk
menangani persoalan kemiskinan yang dihadapi rakyat adalah dengan membantu
mereka menemukan kekuatan mereka sendiri. Untuk itu wewenang pembuatan
keputusan mengenai pembangunan, yang selama ini dimonopoli pemerintah, harus
dikembalikan kepada rakyat atau komunitas lokal. Lapisan masyarakat yang dalam
retolika para elit penguasa selalu disebut-sebut sebagai pelaku pembangunan yang
sejati. Karena itu, mekanisme pembangunan yang diandalkan adalah kekuatan
rakyat (“people’s power”). [1]
A. Negara
dan Pasar.
Sejarah kebijakan ekonomi-politik
pembangunan Orde Baru pada dasarnya adalah sejarah persaingan antara pendukung
pendekatan PSP, yang menekankan persoalan pembinaan basis materiil bagi
kekuatan Negara, dengan pendukung pendekatan ESP, yang menekankan pembangunan
ekonomi sebagai proses akumulasi dan reproduksi kapital dengan pameran utama
aktor bisnis swasta. Salah satu isu sentral dalam pemikiran dan praktek
pembangunan, terutama di masa awal Orde Baru, adalah bagaimana meningkatkan
kemampuan pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi rakyat dan
mempertahankan kelestarian rezim yang berkuasa. Dalam pengertian ini,
pembangunan identik dengan “nation-building”. Pembinaan basis materiil bagi
Negara akan terjamin kalau ekonominya mampu menciptakan surplus yang
berkelanjutan. Tanpa kemampuan memobilisasi sumber dana internal maupun
eksternal, upaya mengkonsolidasi legitimasi politik sulit dilakukan dan pada
gilirannya bisa menganggu kelangsungan hidup rezim.
Diantara tujuan Orde Baru yang
paling penting adalah “membangun suatu masyarakat baru yang merasa aman,
menikmati arti penting ketertiban, dan mengajar kemampuan dalam suasana
kestabilan”. Untuk
mencapai tujuan besar itu, pemerintah Orde Baru menerapkan dua strategi umum. Pertama, strategi ekonomi yang mendorong
pertumbuhan cepat dan yang bisa memobilisasi berbagai sumberdaya ekonomi dari
luar negeri. Yaitu, strategi “berorientasi keluar”. Dan kedua, strategi politik mendorong penciptaan sistem ekonomi dan
masyarakat yang terkendali dan tertib. Dalam kaitan inilah stabilitas dan
keamanan merupakan hal paling berharga dalam pandangan elit politik Orde Baru. Pada gilirannya, penciptaan dan pemeliharaan stabilitas nasional
mengharuskan pemerintah mengambil langkah-langkah berikut:
- Menciptakan politik yang bebas dari konflik
ideologis dan berdasarkan atas ketertiban dan konsensus.
- Membatasi
partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat harus diarahkan
terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit
penguasa.
B. Eksploitasi Sumber Daya & Warga Tionghoa
Eksploitasi sumber daya selama masa pemerintahan
Presiden Soeharto, kebijakan-kebijakan , dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan
dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Warga
Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung
juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas
Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional
karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat
yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang
diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa
yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan
rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di
Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Konflik perpecahan pasca
orde baru di masa orde baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan
dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama
ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun
dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa
di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.[2]
C. Kelebihan dan Kekurangan Orde Baru
a. Kelebihan
Ada beberapa hal yang menjadi keuntungan dari masa orde baru sebagai
berikut:
- Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih
dari AS$1.000
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Stabilitas politik dan ekonomi
- Pertumbuhan ekonomi
- Pemerataan pembangunan lebih
terjaga
- Ternyata sistem represif tanpa
demokrasi yang paling cocok sampai saat ini di Indonesia. Buktinya setelah ada
demokrasi sekarang malah kebablasan, anarki di mana-mana.
b. Kekurangan
Adapun hal-hal yang menjadi kerugian dari masa orde baru adalah sebagai
berikut :
-
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak
merata
- Bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si (miskin)
- Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang diberedel (dihentikan dari edaran
dan penerbitan)
-
Ekonomi makro rapuh karena banyak subsidi dari hutang luar negeri, untuk membuat stabilitas
politik
D. Repelita
Awal
masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun
1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru
berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan
dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap
bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun
1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang
beberapa REPELITA:
a. REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1 April
1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b. REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah
sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sector pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c. REPELITA III (1979-1984)
Prioritas tetap pada pembangunan
ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan,
serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d. REPELITA IV (1984-1989)
Adalah
peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan
merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri.
e. REPELITA V (1989-1994)
Menekankan
bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Jika ditarik kesimpulan maka
pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sector pertanian
menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Pada pertengahan 1997, Indonesia
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia,
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, Inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan
setelah MPR melantiknya untuk masa Bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih
sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari
jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".[5]
E.
Orde
Baru: Refleksi Otoritarianisme yang Menghasilkan Kesejahteraan Semu
Ekonomi
Indonesia pada masa Orde Baru yang banyak mengalami gejolak krisis menjadikan
proses demokratisasi pada saat Reformasi mengulang dari nol, karena
pemerintahan Soeharto hanya meninggalkan keadaan buruk yang turun temurun
kepada generasi selanjutnya. Semua sisi perlu ditata ulang dan diperlukan
pemikiran cerdas untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan. Begitu juga
dengan kebebasan pers post-Orde Baru terjadi perubahan yang luar biasa, ibarat
burung yang dipelihara dalam sangkar kemudian dilepas secara bebas ke alam
terbuka, itulah kehidupan pers saat ini. Sujito (2011) mengatakan bahwa
liberalisasi politik dan kebebasan media massa adalah fakta paling nyata yang
bisa dirasakan dengan segala dampak yang menyertainya. Sungguh berbeda
dibandingkan era sebelumnya yang ditandai oleh politik yang otoriter,
demokratisasi menyediakan harapan dan ruang baru bagi masyarakat untuk
berkiprah. Soeharto mencanangkan sesuatu
dengan banyak embel-embel di belakangnya tentu banyak orang-orang yang tidak
sadar akan hal yang kita anggap busuk itu. Pola intervensinya diketahui setelah
dikaji lebih dalam dikemudian tahun setelah ia memerintah. Bahkan orang-orang
baru sadar pada saat sekarang ini. Dahulu masyarakat tidak akan
mempertimbangkan sampai kepemikiran yang lebih mendalam, karena yang mereka
tahu bahwa program tersebut membawa keuntungan dan pemerintah selalu memberikan
bantuannya. Pemerintahan Orde Baru ini juga banyak memberikan bantuan kepada
masyarakat yang dapat dikatakan merupakan bantuan semu. Dalam hal ini juga
terdapat intervensi yang kuat dari Soeharto sebagai pemimpin regulasi Orde
Baru. Misalnya pemerintah mencanangkan program Panca Usaha Tani sehingga kita
bisa mencapai swasembada pangan, namun lagi-lagi ada sebuah pesan busuk yang
akan disampaikan. “Supaya produk pertanian bagus maka pakailah pestisida.”
Pestisida sendiri adalah sebenarnya produk dari luar negeri, program dari IMF
yang bantuannya begitu besar. Sebenarnya pemberian bantuan tidak akan membuat
masyarakat sejahtera secara permanen, karena hanya bersifat sesaat saja.
Sehingga masyarakat miskin cenderung bergantung pada negara, bahkan dana untuk
bantuan bisa saja menjadi objek utama untuk dikorupsi.
Demokrasi
dan keadilan disingkirkan, untuk mencapai suatu tujuan yang ingin dicapai maka
Soeharto dengan berbagai cara menjinakkan kekuatan politik sehingga tidak lagi
mempunyai komitmen yang kuat terhadap kontrol sosial. Kekuatan politik disini
maksudnya adalah angkatan bersenjata, mereka diperdaya untuk melanggengkan
kekuasaanya. Terbukti pada saat peristiwa Trisakti, mahasiswa yang vokal
terhadap pemerintahan ditembak membabi buta akibatnya empat orang mahasiswa
Trisakti tewas.[6]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Orde baru merupakan masa pemerintahan
Seoharto mulai tahun 1966 sampai dengan 1998. Banyak kelebihan dari masa
pemerintahan Soeharto tetapi banyak juga kelemahanan atau keburukannya. Bidang
ekonomi juga memiliki perkembangan pada saat itu. Sejak tahun 1969, Indonesia
dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan
Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA
yaitu mulai dari Repelita I sampai dengan repelita V. Kesejahteraan pada Orde Baru boleh dikatakan memang
terwujud, namun secara tidak kita sadari bahwa kesejahteraan tersebut bersifat
semu. Lebih lanjut Pratikno (1998) mengatakan sumber utama kedua yang
dipergunakan untuk membangun otoritarianisme, klientelisme ekonomi yang
berhasil dilakukan berkat melimpahnya sumber daya ekonomi dan hasil alam.
Dengan sumber daya inilah Suharto secara efektif mampu membeli dukungan dari
elit politik dan masyarakat luas. Faktanya ketika Orde Baru runtuh maka
indikator kesejahteraan juga turut menghilang perlahan dengan sendirinya, hanya
untuk pencitraan saja. Memang sifat manusia jika sudah memperoleh kesempatan
yang menggiurkan di depan mata, akan mengambil dengan suka cita. Apalagi pada
saat Orde Baru mereka bisa leluasa bergerak tanpa pertimbangan matang, utung
ruginya menarik modal asing tidak dipikirkan sebelumnya. Mereka hanya
berorientasi pada keuntungan semata, tanpa memperdulikan peningkatan
produktifitas ekonomi Indonesia untuk keberlangsungan hidup penerus bangsa
selanjutnya. Mereka belum bisa berfikir untuk peduli pada generasi mendatang,
boro-boro masalah generasi, rakyatnya yang pada saat itu menjerit hanya karena
tidak bisa membeli kebutuhan pokok saja tidak diindahkan. Inilah asal mula
mengapa hutang Indonesia saat itu menggelembung menjadi besar karena ulah
konyol orang-orang tua Orde Baru yang pikirannya kotor. Sebagian besar utang
tersebut adalah sektor swasta kepada pemodal asing. Imbas dari hutang yang
sangat tinggi waktu itu Orde Baru kekosongan kas negara, tidak mapu membayar
hutang-hutang tersebut padahal jatuh temponya dekat dengan bunga yang luar
biasa tinggi. Pertengahan tahun 1998 sudah lebih dari 50 miliar dolar jatuh
tempo, sedangkan uang memang kosong untuk melunasinya. Akhirnya menumpuk lagi
hutang negara kita, semakin banyak dan semakin banyak. Bahkan uang yang
digunakan pengusaha kurang lebih 74 miliar hampir seluruhnya tidak ada
manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Inilah awal timbulnya krisis moneter yang
dialami Indonesia.
B. Saran
Orde Baru boleh
kita kenang namun pola kepemimpinannya tidak perlu kita contoh, karena sangat
sentralistik bahkan sentral ditangan satu orang saja
yaitu Soeharto.
Sampai-sampai kesejahteraan hanya bersifat semu tidak ikhlas diberikan pada
rakyat. Kita memasuki globalisasi, masalah kesejahteraan tidak hanya terkait
dengan hal-hal seperti mampu makan namun juga mampu berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Memang banyak keuntungan atau sisi
baik dari masa pemerintahan soeharto, tetapi sisi buruk juga tidak boleh kita
lupakan. Dengan penjelasan
yang saya tulis dalam makalah ini tentang system politik pada era orde baru,
hendaklah kita lebih jeli lagi melihat system pemerintahan yang dilakukan oleh
pemerintah kita terhadap rakyat, bukan hanya melihat keuntungannya saja tetapi
juga melihat dampak buruknya dan secepatnya mengantisipasi keburukan tersebut.
Hendaklah kita meneruskan sisi baik dari masa pemerintahan Soeharto dan
memperbaiki sisi buruknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://bisnis.vivanews.com/news/read/197136-kenapa-ekonomi-indonesia-2011-lebih-baik- , diakses
tanggal 8 Desember 2011.
http://www.kombor.com/2011/11/bangga-indonesia-disebut-sudah-sejajar.html ,diakses
tanggal 8 Desember 2011.
[1] http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-sejarah-orde-baru.html
diambil pada hari 27 oktober pukul 17.00 WIB
[2] http://bisnis.vivanews.com/news/read/197136-kenapa-ekonomi-indonesia-2011-lebih-baik- , diakses
tanggal 8 Desember 2011.
diambil pada hari 27 oktober pukul 17.00
WIB
[3] http://alfiyanfaqih.blogspot.com/2011/10/kelebihan-dan-ekurangansistem.html#ixzz29Z7CLdAR diambil
pada hari 27 oktober pukul 17.00 WIB
[4] http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101025070316AAOFtd0 diambil pada hari 27
oktober pukul 17.00 WIB
[5] http://ilmu27.blogspot.com/2012/08/makalah-sejarah-orde-baru.html diambil
pada hari 27 oktober pukul 17.00 WIB
[6] http://www.kombor.com/2011/11/bangga-indonesia-disebut-sudah-sejajar.html ,diakses
tanggal 8 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar